Aneh, Perekrutan Perangkat Desa Jajar Talun Blitar Tak Loloskan Peserta Rangking 1

InfoA1 – Pengangkatan 2 perangkat desa Jajar, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar dinilai aneh dan memicu kontroversi. Keanehan tersebut dikarenakan peserta yang diloloskan dan akan dilantik menjadi perangkat desa adalah peserta peringkat 2 dan 3, bukan peserta dari nilai tertinggi. Dua perangkat desa yang akan dilantik yakni bernama Eko Sandhy Fikhatiyan dengan nilai 77,3 (rangking 2) dan Maya Melisa dengan nilai 63,4 (ranking 3), sedangkan peserta yang tidak diloloskan adalah Hanny Nur Chasiba dengan nilai 81,7 (ranking 1).

Tentu hal ini menuai banyak kekecewaan peserta dan reaksi minor dari warga desa Jajar, Kecamatan Talun, Kabupaten Blitar. Salah satunya dari peserta bernama Hanny Nur Chasiba yang pupus harapannya mengabdi sebagai perangkat desa meski memiliki nilai 81,7 dan rangking 1. Ia harus dikalahkan dengan peserta dengan peserta rangking 2 dan 3 yang diduga diloloskan Kepala Desa Jajar dengan cara memberikan rekomendasi kepada keduanya. Padahal selisih nilainya terpaut cukup jauh. Nilai Hanny Nur Chasiba lebih unggul 18,3 poin dari peserta peringkat ketiga Maya Melisa dengan nilai 63,4.

Proses seleksi ini melalui beberapa tahapan yakni CAT, Wawancara dan Tes Komputer. Hasil seleksi tertuang dalam berita acara diantaranya Hanny Nur Chasiba mendapatkan nilai 81,7 (ranking 1), Eko Sandhy Fikhatiyan dengan nilai 77,3 (rangking 2), dan Maya Melisa dengan nilai 63,4 (ranking 3). Proses seleksi ini dilaksanakan oleh Universitas Islam Balitar selaku pihak ketiga yang melakukan seleksi. Namun hasil peringkat dari kerja Unisba ini tidak dijadikan dasar utama oleh Kepala Desa dalam menentukan perangkat desa yang akan dilantik.

Hanny Nur Chasiba bersama keluarganya awalnya mengaku senang atas hasil tes yang diselenggarakan UNISBA. Setelah hampir satu bulan setelahnya, ia mengaku mendapatkan undangan untuk hadir di kantor desa untuk melakukan tanda tangan pakta integritas. Di kantor Desa Jajar, hadir pula peserta peringkat 2,3 dan 4 yakni Eko Sandhy Fikhatiyan, Maya Melisa, dan Sony Eka Saputra. Disana ia mendapatkan penjelasan langsung dari Kepala Desa Radita Tuti Dwi Sakti bahwa setelah tes, ada tahapan lagi yang harus dilalui oleh peserta yakni mendapatkan surat rekomendasi untuk Camat dan Bupati. Kepala Desa juga berukang kali menyampaikan yang akan menjadi perangkat desa belum tentu peringkat pertama dan kedua. Tak hanya itu, Kepala Desa juga memberikan surat pernyataan bermaterai bahwa peserta harus menyetujui apapun hasil yang diputuskan nanti.

“Saya merasa sangat tidak adil, saat itu saya memutuskan tidak mau menanda tangani surat pernyataan tersebut karena menurut saya itu janggal karena dalam proses dan peraturan tidak ada tahapan menanda tangani surat pernyataan. Setelah satu bulan berlalu tiba-tiba saya nendengar yang dilantik adalah peringkat ke dua dan ketiga,” ungkapnya dengan kecewa, Rabu, 15 Januari 2025.

Kekecewaan juga disampaikan oleh warga Desa Jajar bernama Arif yang menilai pengangkatan perangkat desa penuh keanehan dan menimbulkan kegaduhan publik. Menurutnya pelibatan pihak ketiga seperti Unisba sebagai lembaga kredibel dalam proses seleksi sudsh benar dan harus dijadikan dasar utama dalam proses seleksi secara kompetensi. Malah jika diperlukan ada tes psikologis, untuk menambah variabel penilaian karakter dari peserta.

“Seharusnya yang terpilih sesuai hasil seleksi, kalau seperti ini dapat menimbulkan persepsi macam-macam dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap proses perekrutan perangkat desa selanjutnya. Kalau hasil seleksi tidak dijadikan dasar atau pedoman dalam perekrutan, maka tidak ada gunanya penyelenggaraan seleksi, hanya pemborosan anggaran dan formalitas saja, berpotensi disalahgunakan kewenangan Kepala Desa,” jelasnya saat dikontak melalui sambungan telepon.

Dari aspek hukum proses perekrutan ini juga dikritisi oleh aktivis anti korupsi Jawa Timur, Muhammad Abdurasodik. Menurutnya Pemerintah Kabupaten Blitar harus mengevaluasi aturan main dari proses seleksi perangkat desa yang selama ini berlangsung. Memberi ruang terbuka atas nama hak preogratif kepada Kepala Desa tidak sejalan dengan prinsip tata kelola pemerintahan yang terbuka, partisipatif, akuntabel, berkeadilan dan berkelanjutan.

“Jika aturan ini dibiarkan maka akan menjadi bom waktu, hak preogratif itu berpotensi tidak adil. Dasar suka dan tidak suka atau ini orang saya atau bukan orang saya juga bisa berpotensi jadi dasar untuk meloloskan atau tidak meloloskan seseorang. Dan perlu diingat perangkat desa itu jabatan lama (dipakai terus meski beda kelala desa) beda dengan kepala desa yang ada masa periodenya. Jadi aspek kompetensi itu menjadi kata kunci utama dalam merekrut perangkat desa, dan uji kompetensi itu sudah benar dilaksanakan oleh lembaga kredibel seperti kampus,” ungkapnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top